Ular Berbisa Jadi Inang Virus Mematikan
Para ilmuwan telah mengungkapkan bagaimana seekor nyamuk dapat menyebarkan virus penyebab radang otak berbahaya yang dikenal sebagai Eastern equine encephalitis (EEE) — yang menyebabkan kematian di Vermont bulan ini. Virus penyakit itu dapat bertahan selama musim dingin di Amerika Utara bagian timur. Kini mereka telah mengetahui inang dari virus tersebut, ular.
Penelitian menunjukkan, ular ini tidak hanya memiliki antibodi dari terhadap virus tersebut, tetapi juga unsur-unsur genetik dari virus itu sendiri yang terdapat di dalam tubuh dua spesies ular berbisa yang hidup di Alabama.
“Hasil penelitian ini menyimpulkan, ular ikut terlibat dalam seluruh proses penyebaran virus tersebut,” kata Thomas Unnasch, professor dan anggota dari departemen kesehatan dunia, University of Southern Florida. Ular muncul sebagai mitra saat musim dingin menggantikan burung, yang dihinggapi virus dari nyamuk dan menjadikan ular tersebut sebagai inangnya sampai musim panas nanti.
Meski jarang terjadi, nyamuk juga bisa menyebarkan virus tersebut terhadap manusia, hal yang akan memberikan dampak yang sangat buruk. Di Amerika Serikat sendiri, ada enam kasus yang terjadi terhadap manusia akibat penyebaran virus tersebut setiap tahun.
EEE menyebabkan radang otak dan dapat membunuh penderitanya atau membuat mereka mengalami kerusakan otak yang fatal, seperti yang dikatakan oleh Centers for Disease Control and Prevention A.S. Penyakit itu juga menyerang sejumlah hewan, terutama kuda.
Thomas dan sejumlah rekannya memeriksa darah ular yang ditangkap di hutan taman nasional Tuskegee, Alabama, guna mencari antibodi terhadap virus serta kode genetik dari virus tersebut.
Ke-73 ular dari delapan spesies yang dites selama tiga tahun, menunjukan bahwa 15 persen ular tersebut terinfeksi EEE dan dua kali lipat dari jumlah ular yang terinfeksi tersebut memiliki antibodi. Kebanyakan dari ular yang memiliki antibodi tersebut adalah ular cottonmouth (populasi terbanyak di wilayah itu), juga beberapa ular copperhead, keduanya merupakan ular yang paling beracun.
“Hasil tersebut menunjukkan banyak ular liar yang terinfeksi dengan virus tersebut dan menjaganya di dalam darah mereka,” kata Thomas.
Tim peniliti mengumpulkan contoh darah ular yang diambil sejak April 2007 sampai September 2009. Dari contoh darah 54 ular cottonmouth, infeksi tertinggi rata-rata terjadi pada April, sesaat setelah ular mulai bangun dari proses hibernasi mereka.
Virus tersebut tampaknya tidak membuat ular menjadi sakit, kata Thomas. “Ular tersebut nampaknya tidak memilki daya kekebalan tubuh yang efektif, antibodi yang diproduksi oleh ular-ular tersebut nampaknya tidak menghambat perkembangan virus.”
Hal yang menguntungkan bagi virusnya. Dalam percobaan yang dilakukan di laboratorium Thomas menunjukkan bahwa darah ular mampu dihinggapi virus tersebut lebih lama dibandingkan darah burung, yang dijadikan inang oleh virus tersebut selama musim panas. Ketika ular tersebut berhibernasi, Thomas dan rekannya menemukan bahwa virus berada dalam darah ular dan ular tersebut dalam keadaan yang tidak begitu baik.
Para ilmuwan menduga bahwa hal itu disebabkan oleh metabolisme serta sistem kekebalan tubuh ular yang melambat, sehingga ular tidak dapat menyingkirkan partikel-partikel virusnya. Para peneliti sejauh ini menyatakan bahwa nyamuk mungkin mendapatkan virus tersebut dari ular, sebelumnya pada tahun ini, seiring dengan berakhirnya masa hibernasi ular. Kemudian nyamuk memindahkan virus tersebut ke burung.
Menurutnya, penelitian itu memberikan pemahaman yang lebih baik untuk melawan penyebaran virus tersebut.
Baru-baru ini, usaha untuk menangkal virus dilakukan dengan memberantas nyamuk yang telah menyebarkannya terhadap sejumlah hewan, khususnya kuda, yang banyak muncul kasusnya pada musim ini, namun untuk saat ini, virus nampaknya menyebar di antara populasi nyamuk yang datang saat musim panas.
Meskipun demikian, jumlah tersebut akan menjadi lebih kecil, karena banyaknya penyemprotan insektisida terhadap spesies nyamuk yang mulai berkembang sebelumnya pada tahun ini, yang hidup dari menghisap darah ular.
Penelitian itu dipublikasikan pada 1 Oktober lalu di dalam jurnal “American Journal of Tropical Medicine and Hygiene”.
Penelitian menunjukkan, ular ini tidak hanya memiliki antibodi dari terhadap virus tersebut, tetapi juga unsur-unsur genetik dari virus itu sendiri yang terdapat di dalam tubuh dua spesies ular berbisa yang hidup di Alabama.
“Hasil penelitian ini menyimpulkan, ular ikut terlibat dalam seluruh proses penyebaran virus tersebut,” kata Thomas Unnasch, professor dan anggota dari departemen kesehatan dunia, University of Southern Florida. Ular muncul sebagai mitra saat musim dingin menggantikan burung, yang dihinggapi virus dari nyamuk dan menjadikan ular tersebut sebagai inangnya sampai musim panas nanti.
Meski jarang terjadi, nyamuk juga bisa menyebarkan virus tersebut terhadap manusia, hal yang akan memberikan dampak yang sangat buruk. Di Amerika Serikat sendiri, ada enam kasus yang terjadi terhadap manusia akibat penyebaran virus tersebut setiap tahun.
EEE menyebabkan radang otak dan dapat membunuh penderitanya atau membuat mereka mengalami kerusakan otak yang fatal, seperti yang dikatakan oleh Centers for Disease Control and Prevention A.S. Penyakit itu juga menyerang sejumlah hewan, terutama kuda.
Thomas dan sejumlah rekannya memeriksa darah ular yang ditangkap di hutan taman nasional Tuskegee, Alabama, guna mencari antibodi terhadap virus serta kode genetik dari virus tersebut.
Ke-73 ular dari delapan spesies yang dites selama tiga tahun, menunjukan bahwa 15 persen ular tersebut terinfeksi EEE dan dua kali lipat dari jumlah ular yang terinfeksi tersebut memiliki antibodi. Kebanyakan dari ular yang memiliki antibodi tersebut adalah ular cottonmouth (populasi terbanyak di wilayah itu), juga beberapa ular copperhead, keduanya merupakan ular yang paling beracun.
“Hasil tersebut menunjukkan banyak ular liar yang terinfeksi dengan virus tersebut dan menjaganya di dalam darah mereka,” kata Thomas.
Tim peniliti mengumpulkan contoh darah ular yang diambil sejak April 2007 sampai September 2009. Dari contoh darah 54 ular cottonmouth, infeksi tertinggi rata-rata terjadi pada April, sesaat setelah ular mulai bangun dari proses hibernasi mereka.
Virus tersebut tampaknya tidak membuat ular menjadi sakit, kata Thomas. “Ular tersebut nampaknya tidak memilki daya kekebalan tubuh yang efektif, antibodi yang diproduksi oleh ular-ular tersebut nampaknya tidak menghambat perkembangan virus.”
Hal yang menguntungkan bagi virusnya. Dalam percobaan yang dilakukan di laboratorium Thomas menunjukkan bahwa darah ular mampu dihinggapi virus tersebut lebih lama dibandingkan darah burung, yang dijadikan inang oleh virus tersebut selama musim panas. Ketika ular tersebut berhibernasi, Thomas dan rekannya menemukan bahwa virus berada dalam darah ular dan ular tersebut dalam keadaan yang tidak begitu baik.
Para ilmuwan menduga bahwa hal itu disebabkan oleh metabolisme serta sistem kekebalan tubuh ular yang melambat, sehingga ular tidak dapat menyingkirkan partikel-partikel virusnya. Para peneliti sejauh ini menyatakan bahwa nyamuk mungkin mendapatkan virus tersebut dari ular, sebelumnya pada tahun ini, seiring dengan berakhirnya masa hibernasi ular. Kemudian nyamuk memindahkan virus tersebut ke burung.
Menurutnya, penelitian itu memberikan pemahaman yang lebih baik untuk melawan penyebaran virus tersebut.
Baru-baru ini, usaha untuk menangkal virus dilakukan dengan memberantas nyamuk yang telah menyebarkannya terhadap sejumlah hewan, khususnya kuda, yang banyak muncul kasusnya pada musim ini, namun untuk saat ini, virus nampaknya menyebar di antara populasi nyamuk yang datang saat musim panas.
Meskipun demikian, jumlah tersebut akan menjadi lebih kecil, karena banyaknya penyemprotan insektisida terhadap spesies nyamuk yang mulai berkembang sebelumnya pada tahun ini, yang hidup dari menghisap darah ular.
Penelitian itu dipublikasikan pada 1 Oktober lalu di dalam jurnal “American Journal of Tropical Medicine and Hygiene”.
0 komentar:
Posting Komentar